Senin, 02 April 2012

BUDAYA MINANGKABAU MENYERAP KEMAJUAN DAN IPTEK


Dikarang oleh : DR. Raudha Thaib

Pendahuluan

Setiap suku bangsa atau etnik manapun, mempunyai cara atau landasan tertentu dalam mengembangkan dan menyerap pengetahuan, ilmu dan teknologi.
Mulai dari ilmu dan teknologi yang sangat sederhana sampai kepada yang teramat tinggi.
Kecepatan gerakannya untuk mengembangkan, menyerap dan menemukan pengetahuan, ilmu dan teknologi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain; geografis, sistim kepercayaan, sistim adat dan sistem pendidikan.

Bangsa Yunani yang dikenal sebagai bangsa yang melahirkan berbagai aliran filsafat, dilandasi oleh mitologi-mitologi yang banyak.
Daerahnya yang tidak subur, menyebabkan mereka harus merentas dunia sampai ke Mesir.
Di sana pikiran-pikiran Timur dan Barat mereka pertemukan dengan berbagai filsafat yang disusun.
Tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles dan Socrates bukanlah sesuatu yang asing bagi kita sekarang ini.

Bangsa Jepang, yang kita kenal sekarang sebagai bangsa yang amat kreatif dan ulet dalam menciptakan berbagai keperluan kehidupan modern, dilandasi oleh semangat dan sistem kepercayaan yang berbeda dengan bangsa-bangsa Asia lainnya.
Mitologi dewa matahari mereka, telah menempatkan bangsa Jepang sebagai suatu bangsa yang punya sistem kepercayaan dan kehidupan tersendiri.

Sebelum itu, bangsa Mesir yang telah meninggalkan piramida-piramida yang mengagumkan, bangsa Jerman dengan berbagai penemuan keilmuan, bangsa Prancis dengan ketinggian budaya dan seninya, bangsa Inggeris dengan kemasyhurannya menjadi petualang dan menemukan berbagai benua dan dunia.
Islam yang telah melahirkan pusat-pusat kebudayaan, keilmuan, filsafat di tiga pusat dunia; Bagdad (Irak), Iskandariah (Mesir) dan Cordova (Spanyol) merupakan bukti yang tidak terbantah, bahwa agama (sistem kepercayaan), bahasa, geografis dan beberapa faktor lainnya adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam membicarakan masalah penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan iptek di dunia.

Semua bukti-bukti sejarah seperti di atas itu menunjukkan kepada kita, bahwa setiap bangsa mempunyai cara-cara dan sistem tertentu dalam menemukan, mengembangkan berbagai kemajuan pengetahuan, ilmu dan teknologinya.
Bahkan masyarakat primitif sekalipun mempunyai cara dan sistem sendirinya pula, sesuai dengan apa yang mereka perlukan.

Suatu masyarakat yang dapat atau lebih cepat mengembangkan pengetahuan dan iptek, menurut kajian sosio-linguistik, adalah masyarakat yang dapat mencirikan dirinya sebagai masyarakat akademik.
Artinya, masyarakat yang disebut masyarakat akademik itu mempunyai ciri, kecenderungan untuk bergerak secara rasional, pragmartis dan egaliter, sebagaimana ciri-ciri utama dari sifat akademik itu sendiri.
Sebagaimana juga terlihat pada sifat masyarakat Eropa, Jepang, dan beberapa negara yang mengamalkan ajaran Islam seperti Istambul, Bagdad, Iskandariah dan Cordova itu.

Masyarakat akademik adalah masyarakat yang dalam berbagai kegiatan sosial budayanya menggunakan berbagai macam penanda keilmuan, misalnya; penggunaan angka-angka, dan penggunaan bahasa.
Dan menurut kajian sosiologi, disebutkan bahwa masyarakat demikian adalah masyarakat yang berpikir pragmatis, egaliter dan metropolis.
Artinya, mereka terbuka menerima sesuatu yang baru tanpa kehilangan identitas dirinya.

BUDAYA MASYARAKAT MINANGKABAU
Berdasarkan kajian sosio-lingustik dan sosiologi tersebut, masyarakat Minangkabau secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat akademis.
Beberapa indikasi untuk itu adalah sebagai berikut;

1. Penggunaan angka-angka.
Angka-angka bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai penghitung dan pembatas sebuah bilangan atau penjumlahan, tetapi sekaligus juga sebagai pembeda yang satu dengan yang lain.
Orang Minang mengenal sistim perimbangan dengan angka-angka yang genap; dua, empat, delapan, duapuluh dstnya.
Bilangan empat merupakan perimbangan antara dua dan dua.
Hal ini banyak ditemukan dalam sistem adat dan bahasa yang mereka pakai sampai sekarang; koto nan ampek (untuk tempat), urang nan ampek (untuk fungsi manusia), kato nan ampek (untuk bahasa dan hukum), indak tahu dinan ampek (untuk etika dan moral), sahabat nan ampek (untuk agama), langkah ampek (untuk silat), pakok ampek (untuk musik, saluang), dan banyak lagi.
Sesuatu yang empat terdiri dari suatu keseimbangan 2 dan 2.
Siang dan malam akan berimbang dan pagi dan sore.
Hilir dan mudik berimbang dengan ateh dan baruah.
Begitu seterusnya.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah Islam masuk dan ajarannya telah mengakomodasi sistem adatnya dalam beberapa aspeknya, masyarakat Minangkabau mengenal apa yang disebut bilangan “tunggal” dan “banyak” menurut terminologi Islam.
Tunggal (Allah) atau aso atau satu adalah angka atau bilangan 1.
Banyak (lebih dari satu adalah 3,5, dan 7); langit tujuh lapis, kelambu tujuh lapis, puti nan batujuah, dan banyak lagi.
Penggunaan angka-angka tersebut juga digunakan oleh masyarakat modern bagi penanda atau pembeda.
Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan nama-nama jalan; 1st Street 2nd Sreet, dan seterusnya, sebagaimana yang ditemukan pada nama-nama jalan di kota-kota besar dunia seperti New York misalnya.
Tidak ada bedanya dengan apa yang telah diterapkan orang Minang ketika mereka memberi nama negerinya; Koto nan ampek, Koto Tujuah, Nagari nan sambilan, 2 x 11 Anam lingkuang, Rantau nan aso kurang duopuluah dan seterusnya.

2. Dalam penggunaan bahasa.
Dalam sistim komunikasi, diplomasi, perundingan dan pembicaraan umum, masyarakat Minangkabau lebih mementingkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary).
Mereka menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak yang sedang berkomunikasi apalagi dalam suatu perundingan, akan dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan pengertian, maksud dan tujuan.
Hal semacam itu dapat disimak dalam pidato-pidato adat atau pasambahan.
Setiap kata selalu diberikan batasan yang jelas.
Seperti misalnya, orang Minang tidak mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata hijau.
Untuk biru laut, mereka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau lauik”, hijau seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (untuk warna hijau muda), dsbnya.
Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata, dalam kehidupan masyarakat modern ditemukan saat mereka menyiapkan naskah perundang-undangan, perjanjian-perjianjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja ilmiah,.

3. Sistim sosial.
Selain dua faktor di atas, masih ada beberapa kondisi sosial masyarakat Minang yang mempercepat mereka menyerap dan mengembangkan pengetahuan, ilmu dan teknologi.
Sejarah telah mengantarkan informasi yang sangat berharga sekali kepada kita.
Orang Minang adalah masyarakat yang sangat mementingkan informasi.
Selalu mereka bertanya kepada seseorang yang datang; Baa kaba.
Bagaimana khabar.
Bukan sapaan; alah makan.
Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu mengenal dan menerbitkan surat kabar di Indonesia.
Surat kabar terbanyak yang terbit di Indonesia, adalah di Minangkabau.
Begitu juga penerbitan buku-buku.
Pembuatan senjata dan mesiu, merupakan home industri terbesar Minangkabau.
Catatan Raffles terhadap masyarakat di pedalaman Minangkabau terhadap hal ini dapat dipelajari kembali.
Menghancurkan home industri inilah yang pertama dilakukan Belanda sebelum mereka merajalela di Minangkabau.

Begitu juga dengan adanya institusi merantau, telah menyebabkan orang Minang menjadi sangat terbuka, menerima berbagai perkembangan keilmuan.
Karenanya, sampai sekarang “rantau” bagi orang Minang adalah “jembatan” bagi mereka untuk menyalurkan berbagai ilmu dan pengetahuan bagi masyarakatnya yang berada di negerinya (nagari).
Dari apa yang dibentangkan seperti di atas dapat dijadikan sebagai indikator bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang “sesungguhnya” adalah masyarakat yang selalu berjalan di depan dalam menyerap dan pengembangkan pengetahuan, ilmu dan teknologi.
Sungguhpun begitu, masyarakat Minangkabau menghadapi berbagai kendala dalam pengembangan berikutnya.

PROBLEMATIK YANG DIHADAPI.
Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang problematika yang dihadapai masyarakat Minangkabau dalam penyerapan iptek dewasa ini, mungkin perlu untuk dipahami lebih dulu konsep pemikiran yang mendasari pengembangan dan penyerepan iptek itu dari berbagai belahan dunia.
Dalam kajian filsafat pemikiran, ada beberapa konsep pemikiran yang dilandasi oleh beberapa sistem filsafat.

1. Konsep pemikiran Barat
(dalam hal ini dirujuk pada Yunani sebagaimana yang dianggap sebagai ibu dari cara berpikir filsafat Barat).
Konsep dasar dari pemikiran ini adalah; tujuan utama manusia dalam menyusun budayanya adalah -menaklukkan alam-.
Karenanya, pemikiran logis atau logika tumbuh dengan suburnya.
Sesuatunya harus dapat diterima akal.

2. Konsep pemikiran Timur
(dalam hal ini dirujuk pada India, sebagaimana yang dianggap sebagai pusat kelahiran agama-agama seperti Hindu dan Budha).
Konsep dasar dari pemikiran ini adalah; tujuan utama manusia dalam hidupnya adalah menselaraskan diri dengan alam.
Karenanya, masalah budi, etika, moral, penghormatan kepada kekuatan-kekuatan gaib sangat penting.
Sesuatunya berdasarkan pada kecintaan, bukan pada penaklukkan.

3. Konsep pemikiran Islam
(konsep pemikiran ini dirujuk karena Islam adalah agama yang menghargai rasionalitas (logika) tanpa menghilangkan kepercayaan pada kekuatan-kekuatan semesta (gaib-Allah swt).
Dalam konsep ini, tugas manusia adalah menjadi wakil Tuhan di bumi atau khalifatullah fil ardh - hal ini bermaksud bahwa tugas manusia di bumi bukan untuk menaklukkan alam seperti pemikiran Barat, atau menselaraskan dengan alam seperti Timur, tetapi tugas manusia adalah memelihara alam.
Memelihara alam berarti menjaga keseimbangan, perimbangan.

4. Dari ketiga konsep pemikiran ini, maka konsep budaya Minangkabau berada pada point 2 dan 3.
Mereka selalu pulang balik dari kedua konsep itu.
Kadang-kadang mereka satukan, jika terjadi perbedaan mereka carikan penyelesaian secara cerdik dan diplomatik sekali.
Sebagai contoh Adat Basandi Syara’, syara’ basandi Kitabullah adalah konsep penyatuan adat dan agama.

Jadi, jika kita bicara tentang bagaimana adat dan budaya Minangkabau dalam menyerap, atau mengadopsi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep berpikir masyarakat Minang yang pulang balik antara konsep pemikiran 2 dan 3 di atas harus pula menjadi pertimbangan.

Percepatan penyerapan ilmu dan tekonologi dalam masyarakat Minangkabau tidak dapat diukur hanya berdasarkan pemanfaatan dan penggunaan alat-alat teknologi semata, tetapi pada sikap masyarakatnya terhadap semua hasil-hasil teknologi itu berdasarkan beberapa faktor yang telah di kemukakan.
Sebab, ilmu tidak punya batas geografis, seperti -matematika Minangkabau-, atau -teori quantum Minangkabau-.

Dari apa yang telah dijelaskan di atas, akhirnya akan menimbulkan pertanyaan; sekiranya memang demikian konsep budaya masyarakat Minangkabau dalam menyerap ilmu dan teknologi, kenapa masyarakat Minangkabau jauh tertinggal dari pada masyarakat Eropa, Jepang, Korea dan bangsa-bangsa lain yang menguasai teknologi? Siapa yang salah? Konsep budayanyakah yang tidak relevan dengan perkembangan kemajauan? Atau ada hal-hal lain yang tidak “terlihat” atau diluar “perhitungan” kita? Persoalan yang dihadapai masyarakat Minangkabau dewasa ini tidak terlepas dari beberapa faktor penentu yang berasal baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Persoalan yang terjadi dalam dirinya adalah; masyarakat Minangkabau sekarang sudah berada pada era masyarakat perkotaan yang konsumtif, bukan lagi sebagai masyarakat produktif.
Dalam pemikiran, masyarakat Minang tidak lagi berada di depan, tetapi sudah menjadi makmum dari pemikiran-pemikiran lain.
Jika dulu, pemikir-pemikir Minang telah menjadi “imam” dalam perkembangan pemikiran di Indonesia, sekarang tidak lagi.
Masyarakat Minang sekarang sudah menetap, tidak lagi “mobil” sebagaimana dulu konsep rantau diterapkan dalam segala aspeknya.
Masyarakat Minang sekarang tidak lagi menjadi “investor” baik dalam pemikiran maupun perkembangan ilmu, tetapi menjadi “pedagang kaki lima”, menerima upah setelah sebuah proyek selesai.

Persoalan yang terjadi di luar dirinya yang mempengaruhi kehidupan dan cara mereka mengatasi keadaan cukup membuat masyarakat Minang “kalang kabut”.
Konsep politik yang sentralistik dalam sekian puluh tahun, menyebabkan masyarakat kehilangan daya “inisiatif”.
Mereka tidak berani berbuat, takut salah, takut dipersalahkan.

Jika mereka bergerak dalam bidang keilmuan, mereka tidak mencipta, tapi mengikuti dan membenarkan sebuah karya cipta orang lain.
Mereka kehilangan keberanian.
Ketergantungan pada pusat terhadap penelitian-penelitian ilmiah sangat dirasakan, sehingga “pusat”lah yang menentukan maju tidaknya penelitian di semua daerah di Indonesia.

Sungguh suatu hal yang mustahil jika kita menginginkan suatu percepatan penyerapan pengetahuan dan iptek dalam masyarakat Minangkabau, tanpa membuang dulu perasaan “ketergantungan” pada pihak luar.

Para ilmuwan di Sumatera Barat sekarang seperti orang memakan “sagun-sagun” tanpa diberi air minum yang cukup.
Mereka tercekik kekurangan air dalam keadaan mulut mengangga penuh tepung kering.
Mereka tak dapat bicara apa-apa lagi dalam dunia ilmu.
Inilah problematik kita. Problematik para ilmuwan, para civitas akademica di manapun juga di Indonesia.

Padang, 17 Juli 2002

Catatan dari admin: Kaba dikutip dari koran di Padang, Pemda Sumbar hanya memberi bantuan lk. 2 juta US$ atau 20 milyar pertahun/365 hari untuk Unand.
aa nan dapek diinvestasikan untuk generasi muda jo pitih sabanyak iko ..! dan bandingkan dengan besarnya alokasi dana untuk pilkada sebesar 100 milyar, padahal pendidikan demokrasi/pemilihan pemimpin tsb. hanya memakan waktu 14 hari yang kadang-kadang juga diisi dengan pendidikan menggoyang-goyang bokong.
Apakah kita masih menggunakan kali-kali atau utak dalam hidup sekarang ini...?
sumber: http://www.nagari.or.id/?moda=palanta&no=109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jho Finder